Tusbol
Jumat, 26 November 2021 21:04 WIB
Selain pedang samurai, mungkin benda yang paling tajam di dunia ini adalah lidah. Bahkan khusus si lidah ini, ada kata mutiaranya:
Jika pedang melukai tubuh, akan ada harapan sembuh. Jika lidah melukai hati, ke mana obat akan dicari. Cakep.
Ini terjadi di kosan besar di Jakarta Barat. Bagunan besar itu terdiri dari tiga lantai. Tiap lantai ada dua belas kamar. Yang tinggal di sana tidak hanya mahasiswa, banyak juga orang kantoran. Juga bukan cuma para jomblo, di sana sebenarnya lebih didominasi pasangan suami-istri. Lihatlah ke jalan setiap pagi, saat Mang Jafra nongkrong depan kosan.
“Yurrr!” teriak Mang Jafra dari atas sadel sepeda gerobak dorongnya. “YURRR!” teriaknya sekali lagi.
TOET! Ini suara dari pompa di gerobaknya.
Tidak sampai semenit, dari beberapa kamar yang kebetulan memiliki jendela menghadap jalan, nongol kepala ibu-ibu. Beberapa masih memakai rol rambut, beberapa sedang memegang lipstik di tangan, dan satu orang sedang mengacungkan setrikaan. Beberapa yang lain mungkin buru-buru lompat dari kasur.
Perempuan yang memakai rol rambut berteriak,”JENGKOL ADA NGGAK?”
Dijawablah oleh Mang Jafra: TOET! TOET!
Ini kode, dua kali toet berarti “iya”, begitu pun sebaliknya.
Tak terkecuali si Rusi, dari kamar nomor 12. Dia tidak punya jendela, tapi dia punya telinga.
“Aku belanja dulu, Yang,” katanya sembari membetulkan kaos lecek bekas tidur semalam.
“Hm, masak apa?” sahut Jhoni, yang dipanggil “Sayang” oleh Rusi, sekaligus bertanya. Tanpa menunggu jawaban istrinya, dia menarik selimutnya lagi.
“Tauk. Tar aja lihat sayuran di bawah,” jawab Rusi. Sebenarnya Rusi ini sedang berbicara sendirian, karena dari mulut suaminya itu terdengar suara dengkuran.
Rusi berbadan ceking, sedikit pun tak nampak lekuk-lekuk tubuhnya. Dia menengok ke cermin kecil yang tergantung di luar kamar mandi lalu tersenyum sendiri melihat penampilan rambut barunya yang nyaris cepak. Dengan bangga menyisir rambutnya menggunakan jari, matanya berbinar melihat hasil kerja salon langganannya. Kini rambutnya berwarna tembaga. Ketika melihat bibirnya yang kering, dia tergopoh-gopoh membuka laci kecil di sisinya. Sebuah pelembab bibir beraroma stroberi membuat bibirnya berkilap. Sesudah sekali lagi menatap cermin, dia keluar dari kamar kos.
“Kak Wanda mau belanjakah?” tanya Rusi begitu melihat penghuni kamar kos lainnya yang berjarak tiga kamar keluar.
“Iya, Kak Rusi masak apa hari ini? Bolehlah kau bagi aku masakan kau yang enak itu,” kata Wanda dengan senyum lebarnya.
Rusi tertawa, tawanya renyah. Tangan berototnya dengan jari lentik mencubit lengan Wanda. Wanda ikut tertawa.
“Aku tuh, masak hanya cemplang-cemplung. Nggak pake takaran apa-apa. Masa enak, sih?” kata Rusi, dia memancing pujian lebih banyak lagi.
“Banyak bacot kau, buat apa aku bicara tak penting?” kata Wanda sembari menarik lengan Rusi, raut wajahnya begitu meyakinkan seolah itu tentang mengapa matahari terbit dari ufuk timur.
“Kamu tau nggak, katanya si Emma ikutan Master Chef,” kata Rusi dengan nada nyinyir.
“Taulah, di grup tiap hari sebar banner pengumuman. Ihhh aku tak mau makan masakan orang itu, sebentar-sebentar dia kasi masakan kunyit. Apa-apa, kunyit! Bahkan poster dia pasang pun warna kunit!” kata Wanda. Bibirnya maju lima senti.
Perbincangan ke dua orang itu terhenti saat mendekati gerobak sayur Mang Jafra.
Keributan khas ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayur mengisi pagi cerah ini. Tiba-tiba perempuan yang memakai rol rambut, menengadah. Hidungnya mengendusi udara.
“Kenapa, Mbak Mei?” tanya seorang yang lain.
“Bau kotoran…” jawab Mei. Yang bertanya memasang wajah bingung, lalu ikutan mengendus.
“Kayak tai,” kata yang lain.
“Bau kotoran manusia inilah,” tukas Wanda.
“Iya benar!” teriak Mei.
“Tai kucing noh di bawah pohon,” kata Bang Jafra, menunjuk ke sebuah pot tanaman di depan kosan.
“Bukan!” sanggah Wanda, kini mengendus ke bawah gerobak sayur. Akhirnya empat perempuan itu saling mengendus.
“Samar-samar sih,” kata Mei lagi. “Ah sudahlah, berburu tai pagi-pagi, mending masak. Berapa semua ini, Bang,” kata Mei, buru-buru mengeluarkan dompet dari saku piyamanya.
“Baunya makin kuat dekat kau, Kak Rus,” kata Wanda sembari mengendusi badan Rusi. Rusi terbelalak, sekilas wajahnya menjadi pucat, tetapi Wanda tidak menyadarinya. Reflek dia mundur menjauhi Wanda.
“Buruan belanja-belanja!” teriak Bang Jafra, menjadi tidak sabar karena sekumpulan perempuan itu malah meributkan bau tai. TOET! TOET!
“Iya, Banggg, tak sabaran pula kau nih,” gerutu Wanda lalu mengalihkan matanya ke tumpukan sayuran.
“Aku … aku … pulang dulu Kak Wanda,” kata Rusi tiba-tiba. Lalu tanpa ba-bi-bu lagi langsung setengah berlari masuk ke dalam bangunan.
“Kak Russs, kenapaaa??” teriak Wanda.
Panggilan Wanda tidak dipedulikan oleh Rusi. Dia terus berlari dengan pose aneh seperti sedang mengapit bola di antara ke dua kakinya.
Setibanya di dalam kamar, Rusi langsung masuk ke dalam kamar mandi, membuka celananya, lalu tertegun.
***
Seminggu berlalu. Gosip tentang Rusi merebak luas.
Topik obrolan pun masih seputar Rusi, ibarat di dunia maya, nama Rusi menjadi trending topik.
#Rusi
#AdaApaDenganRusi
#RusiHilang
Berbagai spekulasi merebak.
“Biasanya kamu sama Rusi terus, Nda, belum dapat kabar?” tanya Mei, sembari membuka jeruk, oleh-oleh salah satu penghuni kos.
“Belum, chat aku dia balas pakai jempol saja. Entah apalah artinya itu. Aku tanya Bang Jhoni, katanya Rusi sedang sibuk,” jawab Wanda di sela-sela kunyahannya.
Mei dan dua teman mereka lainnya tiba-tiba saling berbisik.
Wanda dan Mei juga ikut mencondongkan tubuh mereka.
“Gue curiga, jangan-jangan—” kata seorang yang lain.
“Apaaa?” teriak Wanda gemas karena kalimat menggantung itu.
“Perhatiin nggak, badan si Rusi makin lama makin kurus, dia mungkin kena AIDS!” kata orang yang tadi menggantung kalimatnya.
Serentak empat ibu-ibu itu menegakkan tubuh masing-masing, dengan mata terbelalak.
“Apalagi si Rusi kan—”
Sekali lagi mereka saling mencondongkan tubuh.
“Mana mungkin lah!” seru Wanda setelah mendengarkan alasan panjang lebar temannya. Sebenarnya Wanda ini mulai goyah juga. Sudah lama dia memperhatikan Rusi dan Bang Jhon. Apakah memang benar?
Si Rusi kena AIDS, akhirnya topik ini santer tersebar.
***
“Kak Rus!” panggil Wanda sembari menggedor pintu. Dia mulai was-was, karena sudah sebulan dia tidak pernah melihat karibnya itu keluar kamar. Biarpun terlihat keluar,
Jhoni membuka pintu kamar, senyum hangatnya menghias wajahnya yang berewokan. “Cari Rusi, Nda?” tanya Jhoni.
“Iya, Kak Jhon, Kak Rusi-nya ada?” tanya Wanda sembari celingukan berusaha melihat ke dalam.
“Hola, Kak Wanda!” Suara Rusi menyeruak di antara mereka.
Jhoni menepi, memberi jalan bagi Rusi untuk bertatapan muka dengan Wanda.
“Kau kenapa??” tanya Wanda sembari menelisik wajah dan tubuh Rusi. Dia tidak melihat perubahan apa-apa, hanya kulitnya yang terlihat lebih putih sekarang.
“Ah, nggak ada apa-apa, Kak,” jawab Rusi sembari sebentar-sebentar melirik Jhoni yang sedang bermain ponsel.
Wanda menarik lengan Rusi. “Tak ada apa-apa bagaimana, gosip di sini kau sudah tau?” bisil Wanda.
Rusi mengangguk pelan, berkali-kali. Mendadak pandangan matanya sayu, jemarinya memainkan ujung kaosnya, terlihat resah. Bagaimana Rusi tidak tahu omongan orang tentang dirinya, ada saja orang yang berlagak tidak punya otak, bertanya secara langsung kebenaran berita apakah Rusi penghuni kamar nomor 12 itu sakit AIDS. Katanya kalau benar, mereka mau pindah kos.
Teman Rusi banyak, banyak pula yang membela Rusi di dalam grup chat.
TAKUT KETULARAN, EMANG LU MAU CIUMAN MA RUSI?
PINDAH AJA WOY, KOSAN INI KAGAK BUTUH MAKHLUK ASTRAL!
Wanda meraih jemari Rusi, menggenggamnya erat.
“Kau benar kena AIDS, Kak?” tanya Wanda, berbisik lagi.
“Nggaklah Kak, aku nggak kena penyakit itu,” jawab Rusi dengan berbisik juga.
“Jadi kenapa kau tak pernah keluar lagi??” kejar Wanda.
Rusi melirik Jhoni yang terlihat masih tekun dengan ponselnya.
“Aku…banyak kerjaan online, Kak, aku jualan baju,” jawab Rusi.
“Sejak kapan kau jualan baju?” tanya Wanda, tidak peduli Rusi terlihat enggan membicarakan hal itu.
“Ada lah…sedikit-sedikit aku tuh coba jualan,” kata Rusi.
“Aku pulang dulu kalau kau sehat-sehat, Kak, mau pergi aku ke mall,” kata Wanda akhirnya. Rusi tersenyum tipis.
Setelah Wanda membalikkan badan, Rusi menutup pintu kamarnya. Dia menghampiri Jhoni lalu menyandarkan kepalanya dengan manja ke bahu kekar Jhoni.
“Bang, bagaimana…” bisik Rusi.
Jhoni meletakkan ponselnya, mencium kepala Rusi, “Nanti Abang carikan obatnya ya.”
Rusi memeluk tubuh Jhoni, dibalas dengan ciuman mesra.
“Aku…malu, Bang. Gara-gara Abang sih, sekarang aku nggak bisa mengontrol tai keluar dari anusku. Udah dolllllll,” kata Rusi merengek manja. Jhoni menarik tubuh kerempeng Rusi ke ranjang. Rusi tersenyum bahagia, dia yang nama aslinya adalah Rusdiman.
Tamat

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler